Film: Antara Hiburan dan Propaganda

Rifky Vidy Rakasiwi
5 min readApr 12, 2021

--

Tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional. Hal ini tidak lepas dengan perjuangan Usmar Ismail yang mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan memproduksi film pertama yaitu Darah dan Doa. Bagi Sebagian orang yang tidak tahu, film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu. (Effendy, 1986: 134). Pesan tersebut bisa disampaikan baik tersurat atau tersirat. Selain itu, alur cerita yang disajikan, aktor/aktris yang memperankan cerita, dan setting latar dapat mempengaruhi emosi penonton. selain menjadi media hiburan. Film juga digunakan sebagai propaganda karena dianggap lebih ampuh untuk mempengaruhi seseorang daripada media lain.

Dalam sejarah perkembangannya, film pertama kali masuk di Hindia Belanda tahun 1900-an. Film tersebut menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Tujuan dari film tersebut adalah propaganda yang memberikan pemahaman manipulatif.

Film yang dibuat Belanda menceritakan kedudukan pribumi yang bodoh,menanamkan rasa rendah diri msyarakat pribumi terhadap masyarakat Belanda. Seiring berkembangnya politik etis pada abad ke-20, gejolak perlawanan daerah mengalami penurunan sehingga propaganda melalui media film tidak terlalu massif dilaksanakan. Selain itu, perkembangan ekonomi yang semakin naik membuat industri perfilman berkembang pesat. Film tersebut menjadi sarana hiburan bagi para pelajar keturunan priyayi di sekolah kolonial maupun swasta. Banyaknya penonton dari kalangan poribumi membuat dua warga belanda bernama L. Heuveldorp dan G. Kruger mendirikan Java Film Company tahun 1926 yang berpusat di Batavia dengan laboratorium pembuatan film bertempat di Bandung. film pertama yang dirilis berjudul Loetoeng Kasaroeng yang diperankan aktor dan aktris pribumi. film tersebut berdurasi sekitar 60 menit dengan tampilan hitam putih tanpa suara (film bisu).

Dua tahun kemudian, pekerja film dari Shanghai datang ke Hindia Belanda untuk memproduksi film Lily van Shanghai. Meskipun Loetoeng kasaroeng dan Lily van Shanghai dalam produksinya melibatkan banyak aktor lokal, kedua film tersebut lebih mendominasi keberadaan Belanda dan Cina.

Film Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926. Sumber: kompasiana.com

Pada zaman penjajahan Jepang, perusaahan film sepenuhnya diambil alih oleh Jepang. Jepang melihat bahwa film adalah alat terbaik untuk menyebarkan propaganda. Mereka membawakan film dari negara asalnya untuk menanamkan nilai indroktinasi politik dan ajaran moral yang sejalan dengan keinginan pemerintah. Untuk itu, Jepang memprioritaskan film dokumenter, kebudayaan, dan film cerita. Film tersebut menggambarkan kegiatan-kegiatan organisasi sosial politik, latihan pemuda, pidato para pemimpin pemerintahan dan militer, kemenangan di medan pertempuran, dan lain-lain. Mereka lebih memfokuskan upaya pengajaran moral dan bagaimana menyampaikan pesan pemerintah. Selain itu, penggunaaan narasi bahasa Indonesia ditekankan untuk ajakan perang. Film-ilm tersebut diproduksi secara hati-hati, kemudian diedarkan ke seluruh bioskop di pulau Jawa

Setelah Indonesia merdeka dan mendapat pengakuan oleh dunia internasional pada akhir tahun 1949, Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini) sekealigus merilis ilm pertamanya yang berjudul Darah dan Doa pada 30 Maret 1950. Film tersebut mengisahkan tentang long march pasukan Siliwangi dari Yogyakarta menuju Jawa Barat. fIlm tersebut menggambarkan ideologi yang dimiliki orang Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Darah dan Doa menjadi film pertama dan menandai bangkitnya industri film tanah air. Pada tahun 1951 pemerintah meresmikan Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Tahun 1955 terbentuk Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).

Cupilkan film Darah dan Doa. Sumber:kediripedia.com

Perkembangan film pun juga mengalami masa pasang surut, pada masa Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno ingin mengukuhkan bahwa Indonesia anti imperialisme dan anti Barat. PKI melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mengajak rakyat untuk memboikot film yang pro dengan liberal. Untuk itu dibentuklah Panitia Aksi Pemboikotan film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang bertujuan melarang film Amerika masuk ke Indonesia. Motif dari pemboikotan ini adalah membendung paham liberalisme sehingga paham komunisme dapat berkembang di Indonesia. Jumlah bisokop saat itu juga mengalami penurunan drastis akibat aksi pemboikotan tersebut

Setelah masa Demokrasi Terpimpin berakhir. Pemerintah berusaha menanamkan ideologi Pancasila sebagai satu-satunya Ideologi negara di masa Orde Baru mengingat peristiwa G30S/PKI tahun 1965 menimbulkan luka bagi bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, pemerintah membuat film propaganda bertemakan sejarah seperti Janur Kuning, Enam jam di Yogya, Serangan Fajar, serta film pemberontakan G30S/PKI. Film-film tersebut diputar diseluruh bioskop tanah air. Khusus untuk Pemberontakan G30S/PKI wajib ditonton oleh PNS, pelajar dan mahasiswa, bahkan masyarakat umum yang diputar di TVRI setiap tahun. Tujuan dari pemutaran tersebut adalah mempertahankan Ideologi Pancasila dan membendung paham komunisme yang ditakutkan dapat berkembang lagi di Indonesia.

Cuplikan film Pengkhianatan G30S/PKI. Sumber:tirto.id

Pada masa Reformasi, propaganda film digunakan untuk.alat mengkampanyekan politikus. Seperti film Di Balik 98, A man Called Ahok, serta Hanum dan Rangga. Di Balik 98 awalnya dibuat sebagai alat kampanye untuk mendukung Wiranto sebagai presiden pada pemilu 2014. Akan tetapi, Ketika timbul perpecahan kongsi antara Wiranto dan Harry Tanoe, terdapat perubahan cerita dimana dalam film tersebut sedikit sekali mengisahkan Wiranto. Dalam film A man Called Ahok dan Hanum dan Rangga yang dibuat tahun 2018 menceritakan kisah nyata dari Ahok yang merupakan pendukung capres nomor urut 01 dan Hanum yang mendukung capres nomor 02. Meskipun tidak menceritakan capres secara langsung, kedua film tersebut dapat mempengaruhi penonton dalam memilih capres dan cawapres tahun 2019 nantinya.

Referensi

Anugrah, Dea. 2016. Film dan Propaganda. Agustus 17. Accessed April 11, 2021. https://tirto.id/film-dan-propaganda-bBC1.

Dewi, Dinda Silviana. 2020. Hari Film Nasional 30 Maret & Film Pertama Loetoeng Kasaroeng. Maret 30. Accessed April 11, 2021. https://tirto.id/hari-film-nasional-30-maret-film-pertama-loetoeng-kasaroeng-eH2z.

Erwantoro, Heru. 2010. “SEJARAH SENSOR FILM DI INDONESIA Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang (1916–1945) .” Patanjala Vol. 2 1–17.

Orin, Carolina. 2017. Film Seabagai Alat Propaganda Indonesia: Dari Zaman Kolonial hingga Era Orde Baru. Skripsi. FKIP, Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

2019. Politik Film di Hindia Belanda, Silang Sejarah Perfilman Indonesia Era Kolonial. Maret 05. Accessed April 08, 2021. https://komunitasbambu.id/politik-film-di-hindia-belanda-silang-sejarah-perfilman-indonesia-era-kolonial/.

Rusnandha, Yasmine Amalia. 2020. Sinema, Propaganda, Sempurna. Desember 22. Accessed 04 11, 2021. https://kumparan.com/yasmine-amalia-rusnandha/sinema-propaganda-sempurna-1upaE07IXal/full.

Wjayanti, Sri. 2019. Konsep Transportasi sebagai Pengalaman Personal Individu Ketika Menonton Film. Agustus 12. Accessed April 08, 2021. https://www.brilio.net/creator/begini-cara-kerja-film-mempengaruhi-penontonnya-3e1276.html.

--

--